Monday, December 15, 2014

Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Bagi umat sedharma dimanapun berada, Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan. Kita rayakan kemenangan Dharma melawan aDharma.

Tuesday, March 20, 2012

Hari Raya Nyepi

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka
Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan knanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin).

Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.

Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas.

Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.

Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).

Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.

Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi. 

Tujuan Hidup

Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."

Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka



Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.
Pelaksanaan Upacara



Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.

Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

    Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
    Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
    Amati lelungan (tidak bepergian).
    Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).


Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.




Monday, March 19, 2012

OGOH-OGOH Çaka Warsa 1933

Ogoh-Ogoh sebagai apresiasi seni yang menjunjung tinggi kebersamaan dan budaya bali. Ini adalah apresiasi seni di desa kami sendiri TAMPAKSIRING. Sebuah karya seni yang dibangun dengan rasa kebersamaan dan dana dari iuran (dana punia) masyarakat setempat. Rasa bangga dan kepuasan dan memeriahkan datangnya tahun baru çaka 1933.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Ogoh-Ogoh yang dibuat dengan bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyarakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.


Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar, pemuda (sekaa Teruna) itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.















Sunday, January 22, 2012

Siwa Ratri dan Pengendalian Nafsu

  1. Pengertian.
    Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat manusia, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga.

    Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri (atutur ikang atma ri jatinya). Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa upawasa, monabrata dan jagra. Siwarâtri juga disebut hari suci pajagran.
  2. Waktu Pelaksanaan.
    Siwarâtri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu).
  3. Brata Siwarâtri.
    Brata Siwarâtri terdiri dari:
    1. Utama, melaksanakan:
      1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
      2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
      3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
    2. Madhya, melaksanakan:
      1. Upawasa.
      2. Jagra.
    3. Nista, hanya melaksanakan:
      Jagra.

  4. Tata cara melaksanakan Upacara Siwarâtri.
    1. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
    2. Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
      1. Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
      2. Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian- Nya.
      3. Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
      4. Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
        - Sang Hyang Siwa.
        - Dewa Samodaya.
        Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
      5. Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upowasa dan jagra.
        Upawasa berlangsung dan pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
        Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.
        Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
      6. Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.

      sumber: Babad Bali © Yayasan Bali Galang.

Tuesday, August 9, 2011

Buda Keliwon Pegatuwakan



Pegat-uwakan artinya pegat warah atau diam, tidak berbicara. Pada hari yang suci ini para Sang Maha Muni, para pakar dan orang-orang budiman melakukan tapa diam (monabrata) atau brata dhyana, atau semadhi pralina. Tujuannya ialah menyatukan tenaga hidup (prana) di badan kita, yang menyebabkan segar bugar dan sehatnya jiwa raga. Di samping itu dihaturkan widhi-widhana, bebanten sarwa pawitra, canang wangi-wangi, sesayut dirgha yusa, panyeneng, tetebus, dihaturkan kehadapan Dewa Bhatara, terutama Sanghyang Widhi Wasa dengan perantaraan asap dupa harum serta dengan menyan astanggi.
Pengastawa dilaksanakan dengan pikiran dan budhi cita yang suci nirmala memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa / Bhatara memberikan rakhmat kedirghayusaaning jagat raya dan memujikan atas welas asih serta kemurahan-Nya melimpahkan karunia di mayapada ini demi kesempurnaan dunia sampai dengan seluruh sarwa prani.
dikutip dari: babad bali


Buda Keliwon Pegatuwakan. Hari ini menghaturkan sesaji kehadapan Shang Hyang Widi, sebagai tanda puji syukur atas kemurahan beliau melimpahkan rahmatNya sehingga hari raya Galungan dan Kuningan berjalan dengan selamat.
Buda kliwon pahang juga disebut dengan Buda Kliwon Pegat Uwakan yang menandai berakhirnya rangkaian Hari Raya Galungan yang ditandai dengan mencabut penjor di muka rumah.


''Buda Kliwon Pegat Uwakan'' Berakhirnya Rangkaian Galungan
SELURUH rangkaian kegiatan hari raya Galungan berakhir pada Buda Kliwon Wuku Pahang atau yang lebih dikenal Buda Kliwon Pegat Uwakan, Rabu (12/1) kemarin. Apa makna Buda Kliwon Pahang?

Dosen IHDN Denpasar Drs. Made Surada, M.A., Rabu kemarin mengatakan Buda Kliwon Pegat Uwakan, pegat berarti putus dan uwakan (uwak) berarti kembali -- merupakan hari berakhirnya rangkaian Galungan. Rangkaian Galungan itu dimulai dari Tumpek Wariga sampai Buda Kliwon Pahang (Buda Kliwon Pegat Uwakan). Selama rangkaian Galungan itu, di masyarakat dikenal ada istilah Uncal Balung. Selama Uncal Balung itu masyarakat umumnya pantang melakukan kegiatan Panca Yadnya. Kecuali, pujawali atau piodalan di pura ataupun di sanggah/merajan yang kebetulan saat itu jatuh tegak piodalan-nya. Tetapi, di beberapa daerah tertentu tidak dikenal istilah tersebut.

Lanjut Surada yang mantan Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN ini, setelah Buda Kliwon Pegat Uwakan, umat umumnya kembali memilih dewasa ayu untuk melaksanakan upacara Panca Yadnya. Hal yang sama dikatakan Ketua Yayasan Giri Kusuma Sejati A.A. Gde Rai Tjandra, S.E. bahwa setelah Buda Kliwon Pegat Uwakan, umat umumnya baru kembali menyelenggarakan upacara Panca Yadnya.

Made Surada menambahkan, sebagai akhir dari rangkaian Galungan, pada Buda Kliwon Pahang, penjor Galungan dicabut. Atribut penjor seperti bakang-bakang, lamak, sampian dan sebagainya dibakar. Abunya dimasukkan ke dalam bungkak nyuh gading kemudian ditanam di belakang pelinggih Rong Telu. Maknanya, umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar diberkati kesuburan. Sebelum mencabut penjor, umat terlebih dahulu ngaturan banten atau canang di sanggah/merajan bahwa rangkaian rerahinan suci Galungan sudah selesai. Dilanjutkan kemudian prosesi masegeh, termasuk masegeh di lokasi penjor. Seusai masegeh, penjor Galungan pun dicabut.

Ketua Parisada Bali Dr. IGN Sudiana, M.Si. menyampaikan hal senada bahwa rangkaian Galungan berakhir pada Buda Kliwon Pahang atau dikenal dengan istilah Buda Kliwon Pegat Uwakan atau ada yang menyebut Buda Kliwon Pegat Warah. Buda Kliwon Pegat Warah merupakan hari berakhirnya Galungan yang dimulai dari Tumpek Wariga. Selama 42 hari berlangsung warah-warah pengetahuan tentang dharma. Selanjutnya, umat tinggal mengimplementasikan atau menerapkan nilai-nilai dharma itu dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kedamaian dan ketenangan di dunia.

Kata Sudiana yang Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar, selama rangkaian hari raya Galungan yang berlangsung satu bulan tujuh hari, umat diajarkan untuk mengendalikan diri agar bisa hidup bersama dan bisa melakukan pelayanan, pengabdian dan peningkatan kualitas SDM. Hidup berdampingan dengan sesama secara damai, saling membantu dan saling menghargai merupakan tujuan hidup yang ideal sesuai dengan ajaran agama.

Menumbuhkan kepekaan sosial atau rasa empati juga diamanatkan oleh ajaran agama. Dalam konteks berakhirnya rangkaian Galungan, umat diingatkan untuk selalu bisa menerapkan nilai-nilai dharma. Kemenangan melawan adharma itu mesti terus dapat dipertahankan. Dalam konteks kekinian, kemenangan yang dimaksud bisa berupa kemenangan dalam menghadapi persaingan global. Agar bisa tampil memenangkan persaingan, kualitas SDM Hindu perlu terus ditingkatkan. Dengan kualitas yang andal, diharapkan SDM kita mampu memenangkan persaingan yang demikian ketat di era kesejagatan ini. (lun)
dikutip dari: Bali Post